Jangan mengada-ada. aku bisa melihat sesuatu di dasar hatimu. Jauh di dalam sana... gelap dan tak terjangkau oleh apapun. boleh saja dirimu tertawa, tapi apa bisa dalam kondisimu yang sedang terluka? Jangan mengada-ada, dirimu bukanlah sang dewa. Lelah dengan kondisimu, tak menjadikan semuanya kembali seperti semula. Dewi fortuna pun sedang pergi, entah kapan akan kembali.
Aku tahu, bulir tetesan
mengalir ditepi kulit wajahmu. menggambarkan senandung rasa haru. luapan emosi
yang selama ini terpendam, tercurah limpah laksana api diselimuti air lalu
padam. butuh waktu lama untuk bisa menyembuhkan goresan luka terbakar. tapi
ingatlah janji Tuhanmu, yang bilang bahwa derita dunia akan dibalas dengan
kesenangan di akhirat kelak nanti.
Genggam tanganku ini,
walau sakit dan perih terus menghantui. luka dalam yang selama ini aku rasakan,
ya persis seperti... seperti dua bayi kembar yang mempunyai satu jiwa. saling menyatu
dan bermuara pada hati yang sama. Kau terluka, akupun juga akan terluka. Kita sama-sama
saling terhubung. namun tidak bisa dibilang saudara sekandung. Dia memang adil,
menjadikan kita terpisah. Bayangkan, bagaiamana repotnya ibu kita nanti jika
kita berada di satu atap setiap hari? bisa-bisa ibu mati sambil berdiri.
Ketahuilah, aku menulis ini sembari menangis, teringat akan masa lalu entah bisa dibilang bahagia atau kelam. teman imajinasiku. Ingatkah kau dulu sampai membuatku dibilang anak sinting. bagaimana tidak, siang dan malam membuat orang tua mana yang tidak gusar. menangis tak henti-henti, tidur sambil berjalan. itu semua aku alami. walau orang lain tidak dapat melihatmu. Sosokmu selalu hadir disampingku. Memberi isyarat pada angin, bahwa hari itu adalah hari yang tepat untuk bermain. tunggulah aku disinggahsana yang dijanjikan itu.
Ketahuilah, aku menulis ini sembari menangis, teringat akan masa lalu entah bisa dibilang bahagia atau kelam. teman imajinasiku. Ingatkah kau dulu sampai membuatku dibilang anak sinting. bagaimana tidak, siang dan malam membuat orang tua mana yang tidak gusar. menangis tak henti-henti, tidur sambil berjalan. itu semua aku alami. walau orang lain tidak dapat melihatmu. Sosokmu selalu hadir disampingku. Memberi isyarat pada angin, bahwa hari itu adalah hari yang tepat untuk bermain. tunggulah aku disinggahsana yang dijanjikan itu.
Aku hanya ingin bilang…
Maaf bila selama ini perubahan
menuju dewasa terlalu sering mengabaikan tanda-tanda keberadaanmu. karena
memang ini yang harus aku lakukan. demi hal penting bernama kesuksesan. ya...
setidaknya mereka bilang begitu.
Maaf bila selama ini telah
membuatmu bosan... bosan melihat lembar lembar tergores tinta yang keluar dari
mesin digital, bahkan bunyi decitan nya pun membuatmu pergi jauh dari kamarku.
Bau khas mu hilang begitu saja, mengira aku tidak tau semuanya? Kau salah. Aku
bukanlah si kecil dengan hidung yang tersumbat cairan yang disebabkan oleh
virus itu. Jadi aku tau semuanya.
Maaf bila selama ini telah
melihatmu kecewa... kecewa saat kewajibanku sebagai hamba tidak terlaksana.
karena terlalu men-dewa-kan tugas dijalan bernama pendidikan. sehingga mata menuntut
haknya untuk istirahat lebih lama. Berharap cita-cita akan segera terwujud. Meski
kadang harus memaksa kehendak diri untuk bersujud. Aku menyesal untuk mengakuinya.
Maaf bila selama ini jarang
sekali dirimu melihatku berhenti sejenak disebuah ruang, dimana tergambar
sesosok lelaki muda tampan terbingkai kayu kokoh persegi panjang untuk memanjatkan
doa walau hanya sesaat. aku sadar, bertambahnya umur menjadikanku jauh.
Kenangan bersama beliau kini telah pudar, mencoba mengingat walau samar.
Tolong
jangan menghakimiku seperti itu. Betapa tidaknya kau tau, aku memikirkannya
sepanjang hari ketika jumat datang. Kembali kepada kenangan 13 tahun silam. Aku
mohon berhenti, untuk mengingat masa lalu yang kelam.
maaf bila selama ini…
sudah, aku tidak sanggup
lagi menulis…
Sudah lelah aku menangis…
Selama malam… teman
0 komentar:
Post a Comment